Logika, Cinta, dan Hati

by Arif Sofiyanto on Sunday, 21 August 2011 at 12:17


Seperti biasa, aku berdiri di depan kaca jendala itu dan memandang jauh menatap keramaian di sekelilingku. Secara tak sengaja penglihatanku teralihkan oleh pasangan kekasih yang kebetulan sedang melintasi jalanan itu. Menurutku mereka bukanlah pasangan suami istri, terlihat dari wajah si pria yang masih muda...kurang lebih sepantaranlah dengan aku...dan juga si gadis yang mengenakan seragam SMA. Mereka terlihat romantis, mereka saling berpegangan tangan, tertawa bersama. Mereka saling mengasihi satu sama lain. Bahkan dalam angan ku mereka jauh lebih harmonis daripada pasangan yang sudah menikah. Maklumlah...kedua remaja itu sedang tergila-gila oleh asmara.



Sering kali kebanyakan orang (mungkin juga aku) ketika telah saling mencintai maka semua yang ada pada orang yang kita cintai akan terlihat begitu indah. Semua tingkah laku, tutur kata, wajah, bahkan namanya saja akan terlihat “wah” dalam benak kita. Apapun itu...yang penting dengan si dia maka akan terasa begitu menyenangkan. Bahkan dalam nasihat di suatu pengajian, tidak jarang para penasihat yang menggambarkan, “ketika ngaji kita hanya melihat sandalnya saja, ooo...hati ini rasanya langsung mak nyess, degdegser ra karuan.” Bayangkan...itu hanya sebatas melihat sandalnya, belum melihat orangnya. Itulah mengapa salah seorang temanku kurang setuju bila orang mengatakan bahwa “cinta itu buta”, tapi menurut dirinya “cinta itu tidak buta, tapi mematikan logika”.



Ketika si pria meminta bantuan pada si gadis, maka dengan hati yang gembira si gadis akan membantu.

Ketika si pria menasihati pada si gadis, maka si gadis akan mematuhinya.

Ketika si pria mengeluh mengenai keadaannya, maka si gadis dengan sabar mendengar kesah keluhnya.

Begitu juga sebaliknya, ketika si gadis membutuhkan bantuan maka si pria akan selalu ada untuknya.




Sayangnya hal itu mereka lakukan ketika belum ada ikatan diantara mereka. Mereka belum menjadi suami istri. “Wah kalo belum jadi suami istri aja udah romantis kaya gitu, apalagi kalo udah jadi suami istri....tambaaah romantis”. Mungkin ada sebagian yang akan berpikiran demikan. Tapi kenyataan tidak selalu sejalan dengan apa yang kita pikiran. Setahun, dua tahun, tiga tahun mungkin kondisi diatas masih bisa kita rasakan. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, saat kita sudah mengenal sifat satu sama lain mungkin kondisi diatas lama-kelamaan akan memudar. Ketika belum menikah seakan-akan si gadis sangat “toat” kepada si pria. Si gadis selalu menurut dengan nasihat yang diberikan si pria, si gadis selalu bertutur kata baik dihadapan si pria dan masih banyak lagi. Tapi ketika sudah menjadi pasangan suami istri ada kalanya yang namanya ketoatan seorang istri terhadap suami akan berkurang. Bahkan yang pernah aku jumpai, jangankan untuk toat pada suami, hanya sekadar tersenyum pun si istri enggan. Itulah mengapa dalam sebuah hadist dikatakan bahwa surganya istri itu ada pada toatnya dia pada suami, hal itu karena saking beratnya yang namanya sebuah ketoatan. Begitu pula sebaliknya, ketika belum menikah si pria berjanji pada si gadis akan setia sehidup semati, berjanji akan selalu menjaganya, dan masih banyak lagi rayuan-rayuan gombal yang dia lontarkan. Tapi setelah menikah, masakan kurang enak marah, rumah belum bersih muring-muring, anaknya nangis malah dibentak-bentak. Naudzubillahimindzalik...Sungguh ironis, tidak seperti saat mereka sedang ta’aruf, saat mereka masih dibuai oleh asmara, saat “cinta mematikan logika” mereka.



Trus gimana dong? Berati kita ga usah mencintai seseorang.

Mencintai seseorang itu boleh-boleh saja. Memang itulah tujuan Alloh menciptakan laki-laki dan perempuan yaitu itu saling mencintai dan mengasihi. Asalkan dalam mencintai dan mengasihi seseorang, kita masih dalam batas yang wajar dan bukan mencintai karena hawa nafsu. Janganlah mencintai seseorang berdasarkan logika tapi pakailah hati untuk mencintai seseorang. Karena cinta tidak bisa melemahkan keimanan di dalam hati, tapi cinta akan menguatkan keimanan kita kepada Alloh.



Dari Anas r. a. dari Nabi Muhammad SAW, beliau bersabda “Ada 3 perkara, barang siapa yang 3 hal itu ada pada dirinya, maka ia akan menjumpai manisnya keimanan. Yaitu jika ia lebih mencintai Alloh dan Rosul-Nya ketimbang mencintai keduanya, jika dia mencintai pada seseorang dimana dia mencintainya dengan niat karena Alloh, dan dia benci apabila kembali pada kekafiran sebagaimana benci dia bila dimasukkan ke dalam neraka.”



Ingatlah...Ketika seseorang yang kita cintai ternyata nantinya memang jodoh kita, maka tanpa rayuan-rayuan gombal pun nantinya dia juga akan menjadi milik kita. Hakikatnya jodoh itu akan selau mendekatkan diri kita pada Alloh karena pada dasarnya jodoh adalah pemberian dari Alloh. Maka ketika kita dekat dengan jodoh kita, seharusnya kita juga merasa lebih dekat dengan Alloh. Oleh karena itu, masalah jodoh mintalah dengan baik-baik pada Alloh.

Semoga Alloh memberikan manfaat dan barokah.


Romadhon 1432H
Ditengah keluarga yang harmonis


Cross-posting "Logika, Cinta, dan Hati"
disalin tanpa perubahan

    • Popular
    • Categories
    • Archives