Meninggalkan Negara
Kerajaan Khawarizmi, tempat Al-Biruni menetap secara politis tunduk kepada kerajaan As-Samaniah. Sebagaimana kerajaan Zayariah yang terletak di sebelah utara Laut Qezwin. Kesultanan As-Samaniah berada di Bukhoro. Raja Nuh Ibnu Manshur As-Samaniah posisinya sangat mantap. Tak seorang raja pun berani menentang. Tetapi pernah pula mendapat pemberontakan dari suatu kelompok dengan memakai politik devide et empera.
Situasi dan kehidupan politik tidak menjadi minat Abu Raihan. Ia selalu sibuk membuat berbagai percobaan. Ia persiapkan sebuah alat perbintangan berbentuk lingkaran besar. Garis tengah lingkaran tersebut lebih dari tujuh meter, dibagi-bagi menjadi setengah derajad. Dengan alat tersebut ia hendak mengetahui letak geografis sebuah desa kecil yang terletak di antara kota Kats.
Suatu kali percobaan Al-Biruni terganggu. Sebab di kerajaannya meletus pemberontakan. Yakni antara penguasa Jurjani yang terletak di sebelah barat Sungai Amudarya dengan Amir bin Abu Abbas. Situasi demikian kacau, hingga AL-Biruni merasa harus menyelamatkan diri. Ia segera menengok sang ibu yang saat itu masih di kota Kats.
Akhir dari pertempuran itu, kota Kats jatuh ketangan Raja Makmum bin Muhammad. Berarti kota Kats dalam bahaya. Bersama para ilmuwan lain ia menghindar dari kota itu demi keselamatan. Bersama ilmu dan masa depan, mereka meninggalkan kekacauan politik. Sedang ibunya yang usianya sudah lanjut usia, tak mungkin ia bawa. Ia mengungsikan si ibu ke suatu pinggiran kota Birun yang aman. Semua harta dan simpanannya ditinggalkan untuk bekal ibunya.
Abu Raihan secepatnya menuju ke utara melintais wilayah kerajaannya sendiri dan As-Samaniah. Kemudian menuju barat ke kerajaan Bani Buwaihi (sekarang Iran). Hingga sampailah di kota Ray, dekat Teheran. Ia bersama ilmuwan lain mencari ketenangan di sini.
Karya Pertama
Dalam pengasingan di kota Ray, Abu Raihan menjalani hidup dalam keadaan miskin. Penampilannya kusam hingga profil ilmuwannya bagai tenggelam.
Suatu ketika ia berkenalan denganpakar terkenal bidang falak (astronomi) bernama Al-Khujandi dari kerajaan Buwaihi. Pakar tersebut sangat kagum atas kejeniusan Abu Raihan. Ia melihat begitu banyak pengetahuan yang dimiliki ABU Raihan. Segera uda pakar tersebut bersahabat. Dan Abu Raihan turut membantu dalaml penelitian dalam perbintangan dengan memakai teropong bintang. Alat ini dibangun di atas gunung di kota Ray. Melihat cakap dan cerdiknya Al-Biruni, terbukalah hati ilmuwan dari Buwaihi itu. Semula hatinya sempat melecehkan Al-Biruni yang berpenampilan dekil, namun kini berbalik amat menyukai Al-Biruni.
Atas keahliannya, AL-Khujandi dipercayai oleh Raja Fakhri Ad-Daulah, seorang amir kerajaan Ray untuk membangun teropong bintang matahari pada waktu dhuhur dalam satu tahun. Pakar itu kemudian menciptakan suatu alat persegi enam. Dan ia namakan “Alat As-Sudus Al-Fakhriyah”, atau alat persegi enam Al-Fakhriyah. Nama ini untuk menghormati amir Ray yang menjadi penguasa di kotanya.
Abu Raihan melihat peluang baik atas dipercayainya Al-Khujandi sehingga tahu betul kerja alat yang diciptakannya itu. Dengan detail dan cermat ia terus mempelajari kerja alat tersebut. Kemudian secara tekun pengamatannya itu dibukukan dengan judul “Hikayatul Alati Al-Musammat Bisuduusil Al-Fakhri” atau ‘Kisah Alat Persegi Enam Al-Fakhri”. Buku ini menjelaskan secara rinci tentang alat teropong bintang yang sudah jadi. Diungkapkan pula didalamnya tentang kegunaannya untuk mengetahui waktu wal, yakni saat matahari mulai agak condong. Berapa ketinggian matahari pada waktu itu sepanjang tahunnya.
Kembali Ke Tanah Air
Bagitu asyik Al-Biruni menekuni tekhnologi perbintangan. Sementara di tanah air Abu Raihan telah terjadi perubahan situasi. Tiga tahun tak terasa ia berada di pengasingan dan sibuk menagadaknpenelitian-penelitian. Ibunya telah menanti-nanti kepulangan Abu Raihan. Dengan diliputi perasaan rindu dan penuh harap Al-Biruni atau Abu Raihan akhirnya pulang ke kota Kats.
Disamping karena rasa rindu terhadap ibunda, kepulangannya kali ini digerakkan oleh minat yang besar untuk mengamati peristiwa alam yang menakjubkan. Yakni terjadinya gerhana bulan di kota tempat tinggalnya. Kepekaan ilmiahnya membuat ia tak bisa mengabaikan sma sekali gerhana bulan yang terjadi pada 24 Mei 988 M. dengan berbekal pengalaman di kota Ray bersama ilmuwan Al-Khujandi, dan bekal matematika serta ilmu astronomi yang sangat ia kuasai, ia berhasil mencatat semua gejala dan peristiwa gerhana bulan. Lebih-lebih ia juga bisa mengadakan kerjasama dengan Abu Wafa Al-Buzajani, ilmuwan di kota Baghdad, untuk mencatat segala gejala gerhana bulan di atas kotanya sendiri-sendiri.
Peristiwa alam gerhana bulan itu sungguh-sungguh terjadi sebagaimana diprediksikan. Masing-masing ilmuwan, Al-Biruni dan Abu Wafa Al-Buzajani dengan cerdas dan cermat mengadakan catatan-catatan atas semua gejala yang terlihat di kota Kats yang terletak di kerajaan Khawarizmi dengan yang terjadi di Bagdad yang berada di Irak. Mereka memperoleh pengalaman-pengalaman dan penemuan baru atas peristiwa itu. Dan tentu saja tulisan mereka didokumentasikan sebagai bekal untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.
Sayang , kota Kats benar-benar tidak nyaman untuk dinikmati Abu Raihan. Sebab, berbagai peristiwa politik, pemberontakan, dan pertikaian raja-raja sangat mengganggu konsentrasi kerja ilmiah Al-Biruni. Saat itu usia Abu Raihan telah mencapai 26 tahun. Semangat untuk mempelajari segala sesuatu sedang bergelora tak terpadamkan. Karena itu untuk mendukung kerjanya ia perlu suatu tempat yang jauh dari keributan kekuasaan. Ia menyingkirkan dirinya dapat menekuni pekerjaan ilmiahnya secara sempurna. Raja Bukhara saat itu berpindah ketangan Manshur II dari tangan Nuh bin Manshur. Pengganti Nuh, yakni Manshur II adalah putranya sendiri. Al-Biruni tak mau tahu tentang semua itu. Biarlah para amir hidup dengan kesibukannya sendiri, dam ia pun akan sibuk dengan penelitian-penelitiannya.
Sahabat Ilmuan dan Pemerintah
Sungguh menyenangkan hidup di kota Bukhara. Kota ini benar-benar mendukung seorang ilmuwan sehingga kerja dan berpikirnya berkembang. Salah satu pendukung itu adalah terdapatnya perpustakaan besar yang letaknya dekat dengan istana raja. Al-Biruni kemudian tenggelam dalam bacaan-bacaan buku karya jaman dahulu maupun sekarang. Semua terasa menantang untuk dilahap. Banyak buku di perpustakaan itu yang belum pernah dibaca Al-Biruni. Karena itu ia menikmatinya dengan penuh kesenangan.
Keadaan perpustakaan itu sangat lengkap. Pengelolanya adalah seorang filosof islam terkenal, Ibnu Maskawaih. Pengunjungnya demikian melimpah. Mereka adalah orang-orang yang haus akan ilmu dan penemuan-penemuan baru.
Disini pula Al-Biruni bertemu dengan seorang dokter yang juga dikenal sebagai filosuf islam terkenal saat ini, Ibnu Sina. Usia Ibnu Sina masih sangat belia,18 tahun. Tetapi sudah amat terkenal disebabkan keberhasilannya menyembuhkan penyakit raja Al-Manshur II yang sudah mencapai kritis. Walaupun pertemuan itu pertama kali bagi keduanya, tetapi masing-masing telah mengenal mendengar nama dan karya mereka yang telah masyhur sebagai ilmuwan. Dua ilmuwan tersebut segera bersahabat. Bahkan Abu Raihan diperkenalkan oleh Ibnu Sina kepada Raja Al-Manshur II. Sangat takjub sang Raja terhadap kecerdasan Abu Raihan terutama dalam penguasaan empat bahasa secara sempurna. Juga terhadap kecakapannya yang lain dibidang matematika, astronomi, botani dan ilmu alam. Raja melihat bahwa Al-Biruni atau Abu Raihan harus diberi peran dan fasilitas sehingga keilmuwannya bisa bermanfaat dan berkembang. Raja memasukkan Abu Raihan dalam majlis ilmuwan di istananya dan menunjang pula dengan gaji bulanan.
Al-Biruni segera bisa kontak dengan banyak pakar lain. Ia mendapatkan banyak masukan dari mereka. Masing-masing di antara mereka memang saling menunjukan dan memberikan semua ilmu yang dimiliki.
Dihadapan Raja, Al-Biruni dan Ibnu Sina mendiskusikan gejala-gejala alam secara serius. Mereka menganalisa tentang kecepatan cahaya dan suara. Perbedaan antara dua itu, dan gerak perpindahan atau jalannya. Ia membahas pula tentang panas sampai detail.
Al-Biruni mengucapkan kepada para ilmuwan lain tentang kecepatan cahaya melebihi kecepatan suara. Ia menguraikan pula tentang perbedaan derajad antara air panas dan dingin; pengembangan logaaam karena panas dan penyusutannya karena udara dingin; juga tentang bagaimana tekhnik menciptakan air mancur, atau teknik air dari sumbernya melalui jaringan dipinggir-pinggir sumber tersebut dan pola yang seimbang untuk menyedot air dari sekitarnya; tak lupa ia juga menguraikan tentang terjadinya sumber-sumber air alami itu secara ilmiah dan memberi gambaran penciptaan sumur-sumur buatan dengan menerapkan hukum-hukum kesimbangan dari air yang mengalir. Para ilmuwan lain terkesima atas kecerdasan Al-Biruni dalam menentukan bobot suatu logam. Ia memakai suatu alat dauroq yakni suatu tempat atau gelas bejan yang memiliki pancuran. Air yang penuh mengisi pancuran tersebut, akan tumpah kedalam jafnab atau semacam mangkok besar, bila dimasuki oleh suatu logam tertentu. Melalui air yang tertuang inilah bobot benda tersebut dapat ditentukan. Di antara bahan tambang yang dapat ditimbang dengan cara tersebut adalah; emas, air raksa, tembaga, kuningan, besi, timah, timah hitam, lazuardi, batu permata, zamrud, batu akik dan sebaginya.
Cara pengukuran yang dilakukan oleh Al-Biruni ini demikian cermat sehingga tiada beda dengan timbangan modern. Memang ada selisih sedikit, hanya beberapa prosen saja dari keseluruhannya. Karya Biruni tersebut merupakan asas atau pedoman untuk menimbang unsur-unsur logam dalam daftar mandelaf di jaman modern ini.
Ia juga mampu menunjukkan kepada amir dan para ilmuwan lain tentang rincian batu permata, logam, serbuk besi, juga biji besi. Ia secara gamblang memberikan penjelasan bagaimana cara mengeluarkan barang-barang tersebut dari pertambangan dan cara memprosesnya kemudian. Bahkan dengan ilmu pengetahuannya yang detail itu, ia dapat menjelaskan keistimewaan-keistimewaan alam dan kimia bagi kekayaan alam tersebut.
Semua yang ditekuni dan diselidiki itu tidak ia sia-siakan saja. Hasilnya senantiasa dibukukan secara rapi. Karena itu banyak karya tulis ia hasilkan. Diantaranya buku berjudul “Al-Jamabir fi Ma’rifatil Jawa-bir” atau “Ilmu Pengetahuan Umum Tentang Permata”, dan “An-Nasbi Al-Alati Baina Al-Falizati Wa An-Jawabiri fi Al-Hajmi” atau “Antara Bijih Besi dan Permata dalam Berat Jenis”.
Buku itu diterbitkandan kemudian menjadi penghuni perpustakaan Raja yang megah. Beberapa salinannya dibagikan kepada para ilmuwan Bukhara. Atas karya-karya ilmiahnya ini, Raja menganugerahi beberapa hadiah kepada Al-Biruni.
Raja berkata kagum,
“Kadang saya mengagumi anda sebagai ahli botani. Tetapi kadang sebagai ahli ilmu alam. Nah, sebenarnya manakah yang menjadi spesialisasi anda? Bisakah anda meyakinkan kepada kami bahwa anda memang benar-benar seorang pakar dalam bidang ilmu alam?
“Wahai yang mulia,” jawab Al-Biruni, “ilmu merupakan satu kesatuan dan saling melengkapi. Hukum yang terdapat pada ilmu satu menjadi dasar bagi yang lainnya. Karena itu, wahai Baginda yang mulia, seseorang yang memperdalami suatu ilmu, orang tersebut tentu akan menguasai ilmu-ilmu lainnya pula. Sebab dasar utamanya adalah teknik dan metode; yang dilaksanakan melalui pengamatan, observasi, eksperimen dan menentukan kesimpulan. Disamping itu seorang ilmuwan akan melaksanakan kerja ilmiahnya itu dengan sangat hati-hati, jangan sampai salah. Demikianlah Tuanku,” tutur Al-Biruni dengan kerendahan hati sekaligus menjelaskan. Raja pun mengangguk-angguk mengakui kehebatan pakar satu ini.
sumber: di sini
No comments:
Post a Comment
Berbagi tak pernah rugi, bagilah ilmu Anda kepada kami. :)