“Saya bingung, Om. Orang tuanya mendesak saya untuk segera
menikah dengan dia,” ujar Rudi kepadaku. Nampaknya ia sedikit cemas dengan
masalahnya.
Aku menyentuh janggutku yang sedikit lebat, diam menyimak cerita keponakanku.
“Mereka takut anaknya patah hati atau bagaimana. Ya saya sih
oke-oke aja, Om. Tapi Mami inginnya saya jangan terburu-buru menikah. Saya juga
baru lulus,” lanjutnya
Aku membenarkan posisi dudukku, “Kamu mau denger pendapat
Om?”
Rudi menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil, “Saya kan
kesini emang ingin denger masukan dari Om,”
Aku menghela nafas, “Harusnya masalah seperti ini nggak perlu terjadi,”.
“Ngga perlu terjadi gimana, Om?”
“Iya, kesalahanmu—kesalahan kalian—adalah kalian saling
menyukai.”
Rudi mengangkat wajahnya. Ia menatapku seakan hendak protes.
Tapi aku tidak memberikan kesempatan untuknya bicara. Segera kulanjutkan ucapanku, “Kamu suka
dengan dia, dia suka dengan kamu. Itu wajar. Nggak apa-apa. Yang salah itu, dia
tahu kalau kamu suka dengannya, dan kamu tahu kalau dia suka denganmu.
Jadi, Rud, kalau kamu tetap mempertahankan apa yang terjadi
antara kamu dengan dia, itulah yang namanya sir-siran.
Sir-siran itu kalian sama-sama
mengetahui kalau kalian saling menyukai. Ya kalau sudah sama-sama suka,
sama-sama cocok harusnya kan menikah untuk menghindari pelanggaran. Kalau tidak
ditindaklanjuti dalam sebuah pernikahan, sekarang hukumnya apa? Sama saja
dengan pacaran, bukan? Dosanya sama dengan pacaran. Bedanya cuma di bibir, kamu
hanya tidak mengatakan, ‘ayo jadi pacar
saya’. Tapi ketika kamu bilang kamu menyukainya tanpa melamarnya, saat
itulah kamu menyiksanya. Dua kali lho, Rud."
Rudi menelan ludah, "Saya menyiksanya, Om? Dua kali?"
"Iya," balasku, "satu, kamu menyiksa perasaan dia. Sekarang pikirkan,
apa kamu bisa memahami perasaan perempuan yang digantung seperti itu? Itu baru di dunia. Yang kedua, di akhirat? Kalau
tidak segera ditobati, ya… bisa jadi penghalang untuk masuk surga.
Apalagi kamu mengatakan kalau kamu akan menikahinya. Ya kalau
ditakdirkan menikah sih syukur, tapi kalau masih ghoib seperti ini, jodohmu siapa
yang tau? Sudah sir-siran, dosa, eh, terus nggak jadi, misalkan.”
“Iya sih. Tapi saya akan berusaha semaksimal mungkin untuk
menikah dengannya, Om. Saya akan istikhorohi terus, saya akan solat hajat
terus, pokoknya tiap hari saya akan berdoa buat dia. Saya nggak akan nyerah,
Om!” ujarnya berapi-api.
“Bagus usahamu. Pelihara terus. Tapi tetap ingat, Allah
sudah punya naskah cerita buat kamu. Seperti kata Om tadi, kalau kamu jadi
dengannya, syukur, syukur pol karena memang ternyata barokahnya kamu menikah
dengan dia. Tapi kalau enggak? Sampai remuk pun kamu berusaha mendapatkannya,
kalau dia bukan tulang rusukmu apa ya bisa dipaksa?”
Ia memejamkan matanya, seperti tidak rela.
“Terus saya harus gimana, Om? Saya nggak mau nambah dosa
juga,”
Aku berpikir sejenak, “Hmm, sebenarnya Om senang kalau kamu
berani melamarnya, kalau kamu sudah mantap lho ya. Om juga punya anak gadis. Sedikit banyak... Om ngerti perasaan
orang tua perempuan itu. Tapi, karena mami kamu meminta untuk menunda, ya
sudah, toatlah dengan mami kamu. Pahalanya jauh lebih besar.
Adapun dengan gadis yang kamu sukai itu, kalau kamu sayang dengan dia, berhenti menyiksanya. Beri dia pengertian kalau yang kalian kerjakan itu tidak halal, melanggar, dosa. Akui saja kekhilafanmu. Ajak dia menobati pelanggaran itu, ‘putuskan’ hubungan itu,”
“Gitu ya, Om? Apa saya bisa bicara dengan dia nanti ya?”
tanyanya meragu.
Aku menyemangatinya, “Bisa insya Allah. Di keluarga besar
kita semuanya harus jadi ksatria! Harus berani! Yakin, mantap, selama yang kamu
lakukan itu tujuannya karena Allah, ada kemudahan dari Allah.
“Kalau dia kecewa?”
“Ya… “ aku terhenti, “ya wajar kalau dia kecewa. Tapi bagaimana
dia menyikapinya, itu perkara lain lagi. Kalau dia bisa menerima dengan ikhlas
ridho, menurut Om dia memang gadis baik-baik, insya Allah. Lanjutkan ikhtiarmu,”
“Kalau reaksinya buruk?”
Aku meraih secangkir teh di depanku, “Itu kamu sendiri yang
tahu jawabannya,”
Setelah puas membicarakan hal-hal lain, Rudi memutuskan
untuk pamit, “Kalau begitu besok juga insya Allah saya akan menemuinya, Om.”
Aku mengangguk, lalu mengantarkannya ke luar. It’s like clockwise, sudah waktunya
anak-anak mengalami masa-masa kecemasan seperti ini. Hmm… aku jadi penasaran kapan
putriku akan mengalaminya, oh tidak, apa ia sudah mengalaminya?
“Kak Rudiii! Tungguuu! Jangan pulang dulu! Tunggu!!”
Ah, anak itu! "Nggak usah pake teriak-teriak, Kak!"
“Hey!” seru Rudi
menoleh ke belakang, “Aku belum pulang, Jani, jangan lari-lari!”
***