“Halo, Kak!” aku berkata setelah istriku Naina memberikan telepon
padaku. Aku meletakkan sendok dan menyudahi makan siangku.
Sebuah suara manja di seberang sana berseru menjawabku.
“Pa, Jani ganggu Papa, nggak, nih?”
Aku meneguk segelas air yang telah disiapkan istriku, “Enggak,
Papa baru selesai makan, nih.”
“Papa sehat?”
“Alhamdulillah, Papa sehat, Mama juga,” aku melirik sekilas
istriku yang memberi isyarat untuk memberikan gagang telepon padanya, “Mau
bicara sama Mama?”
“Enggak, Pa, tadi pagi sudah ngobrol panjang sama Mama,”
Aku terbahak, “Nggak mau katanya, Ma,”. Aku mengedip genit
pada istriku yang pura-pura ngambek.
“Kenapa kak?” tanyaku pada Janita, putri sulungku.
Beberapa detik tidak ada suara. Aku bersabar menunggu. Sudah
jadi kebiasaan bahwa ia kadang selalu menahan apa yang telah ada di mulutnya.
Tapi, ia pasti akan mengeluarkannya.
“Jani mau minta
pendapat Papa. Di kampus akan ada perhelatan akbar menyambut bulan Ramadhan. Acaranya
macem-macem, dan salah satunya menari. Di papan pengumuman, rencananya akan ada
350 penari yang akan menarikan Tari Saman dan Tari Rantak. Dan Jani pingin ikut,
Pa.”
Aku mengrenyitkan dahi, “Ikut apa? Nari?”
“Iya, Pa, dan Jani tadi sudah ikut latihan Tari Rantak sekali, maaf Pa,”
Begitu mendengarnya, aku langsung tertawa, “Kakak mau ikut
nari? Hahaha!”
“Kok ketawa sih, Pa? Ffiuh.. Jani kira Papa bakal marah. Iya, Pa, Jani ingin ikut. Tadinya,”
“Lalu?”
“Ketika datang latihan tadi, ternyata yang datang hanya sedikit, nggak ada seratus orang, bahkan. Jani khawatir kalau nanti Jani bakal terlihat. Kalau yang nari sebanyak 300 orang, Jani, kan, bisa menari sambil ngumpet di antara orang-orang yang nari juga.”
Aku kembali tertawa, “Haduh, kakak…kakak. Kak, wanita iman
itu kan tidak boleh tampil. Maksud Papa, Kakak pasti ngerti, kalau wanita itu
aurot, perlu dilindungi. Kalau Kakak tampil dan menjadi pusat perhatian, Kakak
akan sulit mengendalikan ratusan pasang mata yang memandangi Kakak, setuju?”
“Itu dia, Pa, yang bikin Jani bimbang. Di satu sisi, Jani kepingin banget mencoba sesuatu yang hampir nggak pernah Jani lakukan. Di sisi lain, Jani pikir perempuan muslim nggak boleh menjadi tontonan, apalagi memperlihatkan gerak-gerik tubuhnya,”
“Nah, itu kakak ngerti hukumnya,” tandasku.
“Tapi Jani pingin banget, Pa,” balasnya tak mau kalah.
Aku tersenyum, “Hmm.. Papa ngerti, tapi inget Kak, itulah
yang disebut hawa nafsu, dan hukum-hukum
Allah dan Rosul itu ada dan dibuat untuk mengendalikan hawa nafsu kita.”
Aku hendak berdiri untuk mengambil Alquranku, namun Naina segera beranjak, “Mau diambilin apa, Pa?”
“Alquran, Ma. Amal sholih tolong ambilin ya,” kataku seraya duduk kembali.
Begitu ia mengambilkan Alquran untukku, aku lantas membuka dan mencari-cari ayat, “Nah, ini. Kak, coba kakak buka surat Albaqarah ayat 120,”
“Sebentar Pa,” sepertinya ia bergegas mengikuti apa yang kuucapkan, “Iya, Pa, kenapa?”
Aku membacakan anakku ayat tersebut lalu menceritakan
isinya, “Kak, kata Allah kepada Nabi Muhammad dalam surat ini, 'orang-orang
Yahudi dan Nasrani itu tidak akan senang kepada Nabi Muhammad atau orang iman
sampai mereka mengikuti agama mereka.'
Maka kata Allah, ‘Katakanlah hai Muhammad, petunjuknya Allah itu adalah
petunjuk yang benar, maka aku (Nabi Muhammad) ikut petunjuk Allah saja,’”
Jani belum memberi reaksi apapun. Aku pun melanjutkan
ucapanku, “'Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah pengetahuan (Alquran) datang
kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.'”
“…”
“Kenapa kenapa hawa nafsu? Sebab agama mereka ya itu, hawa nafsu. Yang mereka sembah adalah hawa nafsu. Contoh nafsunya pada kekayaan, mereka menyembah kekayaan, bekerja mengumpulkan uang sebanyak-banyaknya sampai melupakan Tuhannya. Nafsunya, mmm… apa misalnya, mangga. Kepingin mangga, mangga disembah,” aku malah bercanda.
Terdengar tawa singkat di sebelah sana. Aku memindahkan
gagang telepon ke sebelah kiri, telingaku sudah mulai panas mengobrol cukup
lama lewat telepon.
“Kepingin ini diikutin, kepingin itu
dijabanin. Nah, kita ini sebagai orang muslim telah diperintah oleh Allah untuk
tidak mengikuti hawa nafsu. Mmm… sebentar,” aku kembali membuka Alquran yang
kucinta ini.
“Ini, Kak, buka surat Al-Jaatsiyah
ayat 18,” kataku.
“Nomor surat berapa, Pa?”
“Empat puluh lima,” balasku, “Tsumma ja’alnaaka ‘alaa syarii’atimminal
amr. Kemudian Kami Allah menjadikan engkau Muhammad berada di
atas suatu syariat dari urusan (agama), Fattabi’haa, maka ikutilah, hai
Muhammad, wa laa tattabi’ ahwaaa-a-lladziina laa ya’lamuun, dan engkau
janganlah mengikuti hawa nafsu orang-orang yang nggak ngerti. Gitu, Kak.”
Hening, dan aku tetap menunggu hingga akhirnya ia bicara, “Iya
Pa, insya Allah Jani paham. Kalau gitu, Jani nggak jadi ikutan nari, deh Pa,
tiba-tiba Jani jadi nggak kepengen nari lagi.”
Lagi-lagi aku dibuatnya tertawa, anak muda, gampang sekali
berubah pendirian.
“Iya, nggak usah lah, Kak. Kakak boleh melakukan kegiatan
yang Kakak sukai, mengajar, travelling, bikin kerajinan, dagang, terserah Kakak. Tapi
syaratnya, jangan yang ngelanggar.”
“Uhum, siap! Eh, insya Allah siap!” ujarnya membuatku lega. Semoga ia mengerti apa yang
baru saja kami diskusikan. Aku percaya, putriku orang yang pintar dan paham
seperti ibunya.Tetapi, memang, ia butuh diingatkan, dengan pergaulannya yang
luas, tidak menutup kemungkinan satu dua orang temannya memberi pengaruh yang kurang
cocok untuk dirinya.
“Ya sudah Pa. Alhamdulillahi jazaakallahu khoiro. Makasi ya,
Pa, obrolan siang ini. Pokoknya Papa sahabat yang paling the best lah. Muah..muah!”
“Aamiin,” balasku, “Jangan kecapekan, Kak. Uang masih ada?”
Giliran Jani yang tertawa, “Hahaha, masih dong Pa.
Alhamdulillah bisnis Jani mulai jalan, minta doa Mama sama Papa ya.”
Kami mengakhiri pembicaraan.
Janita, putri sulungku. Aku tidak mendukung untuk mengikuti
keinginannya, tapi aku tidak juga mengendalikannya. Dialah sebenarnya yang
mengendalikan hawa nafsunya sendiri. Syukurlah, dengan karakternya yang
terbuka, aku dan Mamanya bisa sangat memahaminya dan membantunya melalui masa
remajanya. Jadilah wanita sholihah dan semoga studimu berhasil di sana, Nak!
“Papa! Malah melamun!” sepasang tangan yang lembut memelukku
dari belakang.
---tamat---
kereen, ayatnya sm persis kaya pas trobosan pusat kemaren
ReplyDeleteditunggu postingan selanjutnya..
hihihi.. cemungud ufaa kalo aku mah emoh nari2 sieun potong :p
ReplyDeletelancar barokah ya bisnisnya. markimo!
wiiw, ada yg bilang keren, hehe, alhamdulillah. Jazaakallahu khoiron. :)
ReplyDeletedisini blm ada pnrbsn kyknya
@uknowho, naha sieun, moal potong, insya Allah mah, haha. Aamiin. Alhamdulillah. Jazaakillahu khoiron :*
ReplyDelete