“Halo, Kak!” aku berkata setelah istriku Naina memberikan telepon
padaku. Aku meletakkan sendok dan menyudahi makan siangku.
Sebuah suara manja di seberang sana berseru menjawabku.
“Pa, Jani ganggu Papa, nggak, nih?”
Aku meneguk segelas air yang telah disiapkan istriku, “Enggak,
Papa baru selesai makan, nih.”
“Papa sehat?”
“Alhamdulillah, Papa sehat, Mama juga,” aku melirik sekilas
istriku yang memberi isyarat untuk memberikan gagang telepon padanya, “Mau
bicara sama Mama?”
“Enggak, Pa, tadi pagi sudah ngobrol panjang sama Mama,”
Aku terbahak, “Nggak mau katanya, Ma,”. Aku mengedip genit
pada istriku yang pura-pura ngambek.
“Kenapa kak?” tanyaku pada Janita, putri sulungku.