Trilemma Mahasiswa: Good Grades dan Ajang Pembuktian



Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh. Teman-teman lihat gambar di atas kan? Trilema mahasiswa. Wah, saya tersinggung. Job saya dibawa-bawa. Why mahasiswa?
Yup, sebagai mahasiswa dengan seabrek kegiatan, kebutuhan, keinginan, kita diberi kesempatan oleh Allah untuk mencapainya dalam waktu 24 jam setiap sehari. Well, sebenarnya bukan hanya mahasiswa, ibu rumah tangga juga diberi waktu 24 jam sehari. Begitu juga dengan yang lainnya, Pak Pos, tukang gorengan, sales obat, sama saja. Nah, dari 24 jam itu apakah kita bisa mengambil manfaat yang menunjang cita-cita kita?

Dari sekian target dan keinginan, ada 3 hal utama yang menjadi incaran mahasiswa, nilai yang baik, pergaulan yang luas dan tidur yang cukup (aduh, yang ketiga ini mah saya banget). The things is, menurut gambar ini, saya dan kamu yang statusnya mahasiswa, cuma bisa memilih dua diantara tiga. Sebagai contoh, kalo mau jadi bintang cumlaude di kelas (good grades) sekaligus gaul dan beken di antara teman-temanmu (social life), kamu musti mengorbankan waktu istirahatmu. Artinya mau tidak mau kita harus mengorbankan salah satu.

Apa? Mengorbankan salah satu? Seriously? Terus, saya harus memilih yang mana dong? Daripada lebay-lebay kamseupay ga jelas, lebih baik kita bahas satu-satu saja yuk, mana yang lebih penting untuk kita. Apakah itu GOOD GRADES? Ataukah SOCIAL LIFE? Bagaimana dengan ENOUGH SLEEP? So, temenin saya ngobrol tentang Good Grades dulu ya!

Memang, tidak semua orang setuju kalau kepandaian seseorang diukur dengan IP, tapi kenyataannya, lebih banyak orang yang senang mendapat nilai A bukan, daripada A- atau B+ deh. Kita ambil contoh saja, tidak usah jauh-jauh, di kampus saya. Di sana, IP menjadi begitu penting karena bisa menjadi penentu apakah ia masih boleh 'bermain' di sana. IP bagus, silakan lanjutkan perjalanan Anda. IP tidak bagus, silakan angkat koper Anda. Dropped out. Naudzubillahi mindzalik.

 وَقَالَ عَلِىٌّ كَرَّمَاللهُ وَجْهَهُ مَنْ اَرَادَ الْدُنْيَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ الْاٰخِرَةَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ وَمَنْ اَرَادَ هُمَا فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ. وَرُوِيَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ خُيِّرَ سُلَيْمَانُ بَيْنَ الْمَالِ وَالْمُلْكِ وَالْعِلْمِ فَاخْتَارَ الْعِلْما فَاعُطِىَ الْمُلْكَ وَالْمَالَ لِاخْتِيَارِهِ الْعِلْمَ   *  ر.ابن عساكر


Dan ‘Ali (yang Allah telah memberi kemuliaan pada wajahnya) berkata, ‘Barang siapa yang menghendaki pada dunia, maka supaya mencarinya dengan ilmu, barang siapa yang menghendaki akhirat, maka supaya mencarinya dengan ilmu, dan barang siapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat), maka supaya mencarinya dengan ilmu,’. Diriwayatkan dari Rasulullah SAW, beliau bersabda, ‘Nabi Sulaiman diperintah (Allah) untuk memilih antara harta, kerajaann dan ilmu. Nabi Sulaiman memilih ilmu. Maka Nabi Sulaiman diberi kerajaan dan harta karena memilih pada ilmu. (khotbah hal.61)

Teman-teman, kita telah memiliki target untuk menjadi seorang profesional yang religius bukan? Untuk dapat dikatakan profesional kelak, kita harus memiliki ilmunya. Dan untuk menjadi seorang mubaligh/mubalighot, itu pun harus dengan ilmu (yaiya lah). Maka pada akhirnya, untuk mendapatkan ilmu tersebut, kita memang harus berproses.

Untuk menjadi seorang arsitek, seseorang harus meluangkan waktunya untuk kuliah dengan baik di bidang itu. Tidak hanya sekadar datang ke ruang kuliah, isi absen, selesai, pulang. Ia juga harus meluangkan waktunya untuk mengerjakan tugas yang diberikan dosen. Ia pun terkadang harus meluangkan waktunya untuk mengalami salah, mengulang kembali hingga ia semakin memiliki ilmu di bidang yang ia tekuni.
Begitu juga dengan seseorang yang ingin menjadi mubaligh/mubalighot, atau minimal paham agama (tidak menjadi mubaligh/mubalighot). Ia harus meluangkan waktunya datang ke masjid, belajar Alquran dan Alhadits, mendengarkan nasihat, dan berbagi pengalaman dengan teman-teman yang lebih paham.

Dari perspektif psikologi, manusia pada dasarnya senang dipuji (iya nggak?), haus akan penghargaan, lapar dengan pembuktian dan aktualisasi diri. Kaitannya dengan kesibukan kita sebagai mahasiswa, tentu saja penghargaan itu bisa dicapai kalau kita punya IP yang, well, setidaknya mencapai angka tiga koma. Bukan hanya sekadar selamat dari ancaman drop out atau sejenisnya.Minimal setidaknya kita dapat dengan bangga menunjukkan pada orang tua atau teman-teman, 'ini lho, IP aku segini'.

So, kita memang butuh apa yang dimaksud good grades itu. Terlepas dari faktor dosen, faktor keberuntungan, dan sebagainya, good grades bisa menjadi pembuktian atas ilmu yang ia miliki. Maka kita jangan sampai beralasan kalau kita tidak bisa punya good grades karena ingin memiliki “social life” dan “enough sleep”. Setuju?

Di kesempatan lain selanjutnya insya Allah kita akan ngebahas penting gak sih social life dan enough sleep buat kita. Just cekidot aja ya! Sampai jumpa, Assalamualaikum. :D

2 comments:

  1. Selama masih ada kesempatan, tuntut lah ilmu yang banyak, karena penyesalan itu tidak hanya ketika saat di akhirot aja, di dunia pun juga sudah merasakannya. seperti org2 di bpkp yg penempatannya berdasarkan peringkat ipk, meskipun gk ngaruh tapi tetap aj ada gretek di hati yg bertanya knp dlu tidak blajar optimal... Dan pengalaman org yg sangat saya kenali jg demikian, knp dlu tidak mondok ketika diberi waktu longgar. Sebelum penyesalan itu terjadi dan tidak bisa mengulanginya lagi (krn udh di kubur)(bahasa mudah nya sih "5 pung"), ayo semangat mencari ilmu..!!!! #bingung?

    ReplyDelete

Berbagi tak pernah rugi, bagilah ilmu Anda kepada kami. :)